Kualitas Produk Legislasi Harus Berpihak Pada Kepentingan Masyarakat
Tudingan yang menyebutkan bahwa anggota DPR belum mampu membuktikan kerja maksimal, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak terbentuk opini miring di kalangan masyarakat bahwa DPR tidak mampu mewakili kepentingan rakyat. Dia mencontohkan saat DPR akan rapat dengan mitra kerja, namun tidak datang. Ini berdampak pada citra DPR di mata publik.
“Bahwa dalam melahirkan suatu Undang-Undang, kami harus betul-betul yakin produk legislasi tersebut berpihak pada kepentingan masyarakat Republik ini,” kata Misbakhun pada Forum Legislasi ‘Catatan Kinerja Legislasi 2016 dan Proyeksi Legislasi 2017-2019’ di press room DPR RI Senayan, Selasa (24/01).
Menanggapi hal itu, Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa pihaknya berkeinginan memberikan hasil kerja yang maksimal. Hanya saja untuk mencapai itu semua, sarana pendukung tugas kedewanan harus juga diperbaiki.
“Masalahnya di supporting system anggota DPR juga harus bertanggungjawab, ini menjadi penting,” kata Misbakhun.
Produk legislasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat, “Kita harus berpihak pada kepentingan bangsa ini. Begitu juga terhadap RUU Pertembakauan, kita memilih berpihak kepada kepantingan petani tembakau kita,” kata dia.
Mengacu pada UU No 17 tahun 2014 tentang MD3, sambung dia, Baleg sudah bekerja, artinya sudah menjalankan tugas dan fungsinya. Namun, yang harus diketahui bersama, bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dibahas di Komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD) bukan wewenang Baleg. Karena itu tanggung jawab masing-masing AKD.
“Jadi, jangan menilai kinerja DPR dari kuantitas UU yang disahkan, namun proses pembahasan beserta kendala-kendala yang dihadapi tidak pernah diketahui umum,” tegas dia.
Terkait pengalaman pembahasan RUU, Misbakhun memiliki cerita yang bisa menjadi inspirasi bagi anggota DPR lainnya. Kala itu, Misbakhun menjadi pimpinan Pansus RUU Tapera. Kata dia, dengan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) setebal 540 halaman, mampu diselesaikan dalam waktu satu setengah hari, dan selesai. Begitu pula kala membahas RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (dulu RUU JPSK), RUU Penjaminan, dan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Fakta demikian itu, kata Misbakhun, menguatkan bahwa seberapa idealnya sebuah RUU selesai kembali kepada intensitas para anggota DPR masing-masing.
“Inilah yang harus kita lakukan bersama. Saya cerita yang faktual saja. Sekali lagi, kembali kepada peran masing-masing anggota,” katanya.
Indonesian Parliamentary Center (IPC) mencatat rendahnya kinerja DPR RI. Hal ini dilihat dari target program legislasi nasional jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 RUU. DPR RI sudah menyelesaikan 14 RUU sampai dengan 2016. Mengacu pada jumlah tersebut, artinya terdapat 169 RUU yang perlu diselesaikan dari 2017 hingga 2019 mendatang. (as)